Minggu, 22 Maret 2009

Mimpi Guru Swasta Menjadi PNS

Mimpi Guru Swasta Menjadi PNS

Oleh FX Triyas Hadi Prihantoro

Usaha guru swasta baik yang bersatatus tidak tetap (GTT) dan honorer dalam memperjuangkan haknya semakin gencar. Baik melalui aksi demo massal, mogok mengajar, mogok makan sampai ramai-ramai mengadu ke “penguasa” lokal maupun nasional. Lalu akankah usahanya dihargai. Diapresiasi secara berkeadilan oleh pemerintah?
Sebagai guru swasta penulis sangat merasakan bagaimana pengorbanan mereka kurang mendapat penghargaan dari pemerintah. Meski penulis sendiri adalah guru swasta yang berstatus karyawan tetap Yayasan, tapi penulis menyadari bahwa untuk memperoleh gaji/honor sesuai Kepres No 101 tahun 2000 yang mengatur tunjangan tenaga kependidikan yang disesuaikan dengan pangkat dan golongannya, di mana semakin lama dan semakin tinggi pangkat serta golongan dari guru tetap semakin besar pula jumlah penghasilan yang diterima, merupakan upaya yang berat dilakukan oleh yayasan sekolah swasta.
Sebab ”kehidupan” sekolah swasta tergantung pada jumlah murid. Dan kenyataanya sekolah swasta semakin lama kurang diminati sehingga antara kapasitas kelas, guru dan karyawan tidak sebanding dengan jumlah murid. Solusi semakin mengenaskan bagi guru swasta saat pihak Yayasan menutup sekolah.
Penulis memaklumi bahwa, bila guru swasta menuntut kesetaraan gaji tentunya beban siswa dan orangtua semakin berat. Karena sekolah swasta sebagian besar dana operasional (gaji, pengadaan KBM, sarana prasarana, infrastruktur dan suprastruktur) merupakan tanggung jawab dari siswa dan orangtua melalui pembayaran sekolah.
Guru swastapun menyadari bahwa lebih dari 80 persen sekolah swasta “dihuni” oleh siswa dari golongan ekonomi menengah ke bawah. Itu sudah menjadi stigma bahwa sekolah swasta lebih berpihak pada kaum miskin baik finansial maupun sumber dayanya.
Maka ketika muncul “kabar gembira” bahwa mulai tahun 2009 gaji guru dan dosen PNS akan naik rata-rata 14 persen per bulan, tak sedikit pun menyentuh nasib guru swasta. Gaji guru dengan pangkat terendah akan bergaji minimal Rp 2 juta. Kepastian ini sebagai konsekuensi meningkatnya anggaran pendidikan yang mencapai Rp 46,1 triliun atau 20 persen dari APBD 2009 (Joglosemar, 10/9/08).
Fenomena itu menjadikan keterpurukan nasib guru swasta apalagi yang berstatus GTT dan honorer menjadi lengkap. Nasib guru antarsekolah memang tidak sama. Karena kebijakan sekolah/Yayasan sangat tergantung dengan policy yang telah menjadi aturan baku. Seperti di sekolah tempat mengajar penulis, seorang guru tidak tetap (GTT) tetap diikutsertakan dalam bentuk pendampingan kegiatan siswa di sekolah. Demikian pula seorang GTT pun dilibatkan untuk masuk dalam kepanitiaan kegiatan sekolah (Panitia Ujian/Ulangan Umum) serta mendapat tunjangan lain yang sama dengan guru tetap (tunjangan akhir tahun, tunjangan hari raya) kecuali gaji pokok.
Uang Pensiun
Saatnya segala darma bakti, pengabdian, loyalitas, dedikasi, profesionalitas diberi award (penghargaan) kepada guru swasta secara semestinya. Meski Pemerintah sendiri juga mengapresiasi dengan menaikkan gaji guru nonPNS (swasta) mulai tahun 2009. Dengan penyaluran dana gaji tersebut melalui Depdiknas, Departemen Agama, Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Untuk tunjangan subsidi fungsional guru belum sarjana sebesar Rp 50.000 dan yang sarjana sebesar Rp 100.000 per bulan (Joglosemar, 10/9/08).
Sebab di hadapan siswa dan orangtua antara “guru swasta” tiada beda, tapi bila melihat hak dan kewajibannya sering tercipta sebuah kesenjangan yang mencolok. Saatnya Pemerintah untuk berniat baik dengan secara sungguh memperhatikan nasib guru swasta.
Guru swasta juga guru profesional. Apa yang menjadi tanggung jawabnya mencerdaskan anak bangsa menjadi kewajiban semua tanpa pilih-pilih. Begitu juga yang menjadi tanggung jawabnya. Kualitas “pemahaman akan materi yang diajarkannya” dan “kemampuan mereka menyadari apa yang mereka ketahui” (Peterson dan Comeauz, 1989).
Penulis dan teman-teman sesama guru di sekolah swasta bahkan berangan-angan bila pemerintah mau mengangkat semua “guru swasta” untuk diangkat jadi PNS. Bisa dibatasi dengan usia minimal 45 tahun (berarti sudah mengabdi 25 tahun) menjadi guru. Dari sini pemerintah hanya menghargai sesuai golongan dan pangkat terbaru sesuai ijazah saat pengangkatan.
Dari sini penulis yakin bahwa para guru swasta akan semakin tenang hidupnya. Karena ada harapan mendapat uang pensiun meski sedikit karena masa kerja jadi PNS maksimal hanya 10 tahun (bila usia 55 tahun purnatugas). Jaminan ketenangan, kenyamanan dan kedamaian kerja inilah yang diharapkan. Sehingga seorang guru swasta tidak akan nyambi lagi menjadi tukang ojek, tukang rosok, tukang sayur, ngajar sana-sini guna mengejar “setoran” untuk hidup.
Harapan guru swasta untuk menjadi PNS tidak hanya angan-angan. Realitanya untuk menjadi PNS (memang) selalu tipis. Karena berdasar PP nomor 11 tahun 2002 tanggal 17 Juni 2002 dan Keputusan Ka BKN Nomor 35 tahun 2004 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan PNS 2004 bahwa standar maksimal usia untuk menjadi PNS adalah 35 tahun. Meski syarat tersebut diperlunak dengan batas maksimal usia 45 tahun dan pernah menjadi guru sedikitnya sepuluh tahun. Pengorbanan guru swasta selama ini butuh penghargaan pula.
Mengutip pendapat Woolfolk (2004) dalam bukunya Educational Psychology, guru profesional tidak hanya memahami materi yang mereka ajarkan melainkan mereka juga tahu menghubungkan setiap materi dengan konteks kehidupan sehari-hari, serta mengetahui bagaimana membuat peserta didik tetap aktif dan bersemangat untuk belajar. Tentu ini butuh sebuah pengalaman yang lebih.
Sudah saatnya Pemerintah berkeadilan dalam memberikan kesejahteraan kepada guru baik yang berstatus PNS maupun swasta. Memang untuk memenuhi “kekurangan” guru PNS perlu prasyarat khusus. Pada Pasal 1 Ayat 2 Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No 123/U/2001 tentang Pedoman Pengangkatan Guru, bahwa pengangkatan guru dilakukan secara kompetitif dan terbuka dengan tidak membedakan suku, agama, asal usul daerah, jenis kelamin dan golongan.

Penulis adalah Guru SMA
Pangudi Luhur Santo Yosef
Surakarta

sumber http://harianjoglosemar.com/index.php?option=com_content&task=view&id=24147&Itemid=1:

ANCAMAN UNTUK GURU SWASTA

Honorer di Swasta tidak Akan Diangkat Jadi Pegawai Negeri

BANDUNG, (PR).-
Pengangkatan guru honorer menjadi pegawai negeri sipil (PNS) harus menunggu peraturan pemerintah (PP) yang saat ini sedang digodok oleh pemerintah. Namun, yang pasti, pemerintah tidak mungkin mem-PNS-kan guru honorer yang mengajar di sekolah swasta.

Demikian disampaikan Direktur Direktorat Pembinaan Diklat Dirjen Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PMTPK) Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) Sumarna Surapranata, sesuai seminar nasional "Revitalisasi Karakter Bangsa melalui Pendidikan Berkualitas dan Terjangkau Rakyat" di Aula Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, Sabtu (21/3).

Pranata mengatakan, saat ini Depdiknas bersama Departemen Agama, Departemen Dalam Negeri, Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara, dan Badan Kepegawaian Nasional sedang menyusun PP tentang pengangkatan guru honorer menjadi PNS.

"Nanti juga diatur untuk guru honorer yang masa kerjanya sudah lama tetapi belum juga menjadi PNS. Melalui PP itu juga nanti setiap tahunnya akan dipastikan formasi untuk guru honorer dalam penerimaan PNS. Hanya belum tahu berapa persen," katanya.

Terbatasnya formasi yang disesuaikan dengan dana alokasi, menurut Pranata, menyebabkan pemerintah hanya mem-PNS-kan guru honorer yang mengajar di sekolah negeri. "Selain itu kalau gerbang PNS dibuka dengan mudah, orang akan gampang buka sekolah. Yang ada nanti mutu tidak terjaga," ucapnya. Namun, Pranata menuturkan, bagi guru honorer swasta yang juga mengajar di sekolah negeri, berkesempatan untuk menjadi PNS.

Mengenai penilaian diskriminasi antara negeri dan swasta, Pranata menyanggah hal itu. "Analoginya, semua orang wajib membela negara. Tetapi kan tidak semua harus mengikuti wajib militer," katanya.

Disebutkan, pemerintah pun tetap berkewajiban membayarkan tunjangan profesi bagi guru negeri dan swasta yang sudah tersertifikasi. "Selain itu, untuk guru non-PNS yang sudah memenuhi kriteria tertentu, pemerintah juga memberikan tunjangan fungsional," katanya.

Diskriminasi Pemerintah Terhadap Guru Honor Swasta, buka hati nurani MU

Sementara itu, Ketua Forum Komunikasi Guru Honorer Bandung Tia Irawan mempertanyakan dasar tidak dibukanya kesempatan menjadi PNS bagi guru honorer swasta. "Kami ini sama dengan guru honorer negeri. Sama-sama mencerdaskan anak bangsa, bukan anak swasta. Menjadi PNS adalah hak semua guru. Ini merupakan diskriminasi terhadap guru honorer swasta," ujar dia.

Menurut Tia, pilihan mengajar di sekolah swasta lebih disebabkan keterbatasan kemampuan sekolah negeri dalam menampung guru honorer. "Kalau disuruh memilih, kami lebih baik mengajar di negeri. Tapi kan negeri terbatas," katanya.

Untuk itu, Tia menuturkan minggu ini akan ke Jakarta untuk membaca draf PP tersebut. "Saya sudah konfirmasi ke Komisi X DPR (dewan perwakilan rakyat)," tuturnya menjelaskan. (A-167)***

sumber : http://newspaper.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=65738